Catatan Proses Kawan Diskusi
(Tulisan oleh Zen Hae)
Jakarta Arts Council Choreo-Lab 'Process in Progress' #2
September, 11 2015
Ndemi Ku Kita karya Gintar Pramana Ginting mencoba memetakan kembali hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dan tanah kelahirannya. lebih dari itu, ia mencoba melihat secara kritis tanah kelahiran setelah lama diringgalkan. Terutama ketika seorang anak kampung yang telah merantau ke kota, menjadi bagian dari kehidupan kota yang gemerlap dan berkemajuan, mesti kembali ke kampung halamannya nun jauh disana. maka kembali disini bukanlah perkara mudah. Pelbagai tegangan yang telah menjadi klasik merundungnya: antara tradisi dan modernitas, antara yang statis dan penuh dinamisme, antara kampung halaman dan kota, antara masa silam dan masa kini.

Tegangan ini mengantarkan si anak pada masalah baru yang berkaitan dengan jati dirinya, juga cara pandangnya terhadap lingkungan yang ada. Apakah yang akan ia perbuat bagi kampung halaman yang telah ia tinggalkan itu? Mengapa kampung itu kini terlihat sebagai sesuatu yang asing? Tapi, mengapa pula yang tampak asing itu terus menggodanya untuk kembali? Apakah ia bisa melepaskan kota yang telah menghidupinya selama ini ketika kelak ia berada di kampung halaman? Apa sebenarnya makna kembali?
Koreografi ini tampil dengan satu tilas cerita yang cukup jelas. Tentang perantauan seorang anak Karo. Pembagian karya ini menjadi empat bagian memudahkan kita untuk menelusuri perjalanan nasib anak Karo tersebut, mulai dari ia berpamitan kepada keluarganya, hidup di kota dan mesti kembali ke kampung halamannya. Alur yang tampak linear ini dibangun berdasarkan prinsip pengadeganan dalam tater. Ada perkenalan kisah, juga tegangan dan klimaks menjelang akhir. Namun, bagian akhir dibiarkan terbuka dan memancing sejumlah pertanyaan penonton.
Panggung dibuka dengan tujuh orang penari yang berkumpul pada satu titik di kanan belakang panggung, dengan pose berbeda satu sama lain. Serunai mengalun, ditingkahi bunyi semacam gong, sekitar satu menit, kemudian black out. Pembukaan itu sebenarnya hanya untuk memancing penonton masuk ke dalam bagian-bagian berikutnya. Pada bagian kedua, tujuh penari itu tampil kembali dalam dua formasi: berkumpul di sudut belakang kiri panggung dan memencar di bagian tengah dan depan kanan panggung.
Pada bagian ini kita bisa menyaksikan semacam prosesi pelepasan seorang anak Karo yang ingin merantau. Tilas kisah yang kuat membuat bagian ini tampak sebagai sebuah fragmen. Eksplorasi gerak di bagian ini belum terlalu banyak, tetapi ia menampilkan hal penting untuk bagian-bagian selanjutnya. Adegan penyerahan tumbuk lada (pisau tradisional Karo) dan penyobekan kain putih dengan pisau tersebut menyimbolkan terbukanya jalan bagi si perantau selakigus memutuskan pertalian batinnya dengan kampung halaman.
Bagian ketiga adalah bagian yang sepenuhnya mengeksplorasi pelbagai gerak, dengan tilas kisah yang makin samar-samar. Pada bagian ini seluruh kosagerak diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat di desa Karo. Mulai dari menyapu, berkebun hingga tari pergaulan. Di bagian ini pula seluruh panggung menjelma menjadi wilayah kampung dengan pelbagai pesona geraknya. Kekayaan gerak ditampilkan begitu rupa dengan komposisi penari yang menyebar hampir ke seluruh wilayah panggung.

Sang koreografer juga berhasil menampilkan komposisi gerak yang indah dan kompak di bagian ini. Misalnya, pada formasi penari menyilang dari ujung kanan depan panggung ke ujung kiri belakang panggung, dengan persilangan ditengah ke arah yang berlawanan. Sapu lidi yang dimainkan degan gerap serupa menyapu, juga gerak-gerak lain yang mengeksplorasi kelenturan tubuh penarinya, membuat bagian ini, dan bagian akhir, menjadi bagian yang penting.
Sementara pada bagian keempat atau bagian terakhir panggung dibagi menjadi dua: wilayah kampung dan kota. Kampung yang dominan di bagian ketiga mulai surut, hanya berupa sekelompok penari yang menjelajahi bagian belakang panggung. Sementara kota mengambil wilayah tengah dan depan, bagian yang lebih dekat dengan penonton, untuk menampilkan si anak Karo yang sendirian dirundung kebimbangan. Apakah ia akan kembali ke kampung halaman atau tetap bertahan di kota?
Kosa gerak mulai dipisahkan antara yang tradisional dan yang modern. Yang tradisional telah menjadi milik kampung halaman, sementara yang modern menjadi hak anak Karo yang terperangkap dalam tarik-menarik antara kampung halaman dan kota. Situasi dilematis ini juga muncul antara intensitas gerak yang makin cepat pada si penari tunggal. Ia seakan-akan ingin bertahan dengan kekotaannya ditengah panggilan kampung halaman yang tak mungkin lagi ia abaikan. Sementara pesona kampung kian menyusut seiring keluarnya satu persatu penari di wilayah belakang panggung.
Dengan bentuknya yang linear dan agak naratif di bagian awal, Ndemi Ku KIta bagi saya adalah sebuah karya koreografi yang tidak berpotensi mengejar kebaruan. Ia justru memaksimalkan kosagerak tari tradisional demi mencapai nilai baru untuk dirinya. Katakanlah ini sebuah tafsir ulang atas khazanah tari tradisional yang berkembang di Karo dan sekitarnya. Tapi sebuah tafsir ulang tidak akan berlangsung baik jika koreografernya tidak menguasai khazanah tari tradisional yang menjadi sumber ciptaannya. Dalam hal ini Gintar cukup menguasai apa yang saya maksud. Ia menampilkan ulang, dengan pelbagai ubahan di sana-sini, kekayaan tari tradisional Karo yang memang sangat ia kuasai.
Karya ini adalah karya tari kontemporer yang bersumber pada tari tradisional. Sisi naratif karya ini memberi kita satu problematika umum yang merundung para perantau-tak terkecuali sang koreografer sendiri. Dengan kata lain, memiuhkan pendapat penyair dan kritikus sastra Subagio Sastrowardoyo, "koreografer modern sebagai manusia perbatasan." sang koreografer, sebagaimana para penari yang memainkan karyanya, tidak bisa sepenuhnya kembali ke kampng halamannya, tetapi sebaliknya, ia juga membawa terus tilas kampung halamannya dalam kehidupannya di kota metropolitan. Pada Gintar tegangan ini bermakna positif. Ia justru memaksimalkan apa-apa yang ia kuasai dari khazanah tradisional untuk melahirkan karya tari kontemporer.
Bergerak di wilayah perbatasan antara yang tradisional dan modern, itulah yang dulakukan Gintar dalam karyanya kali ini. Ia bergerak bolak-balik antara tradisi yang menjadi sumber ciptaannya dan khazanah modern yang ia regyk di bangku kuliahnya dan lingkungan kehidupannya di Jakarta kini. Ia meneguhkan satu prinsip yang luwes dan berhadapan dengan dua kontras ini. Ia tidak mengejek apa yang tradisional, sebaliknya, ia mengambil saripati yang unggul dan layak dikembangkan dari khazanah tersebut. IA juga meneguhkan lagi semangat menjembatani yang tradisional dengan yang modern dalam seni tari kontemporer kita.
Dengan begini sebenarnya cadangan kreativitas tari kontemporer kita menjadi tidak terbatas. Gintar Pramana Ginting adalah salah satu contoh dari koreografer Indonesia generasi terkini yang mencoba mendalami tradisi untuk menghasilkan karya tari kontemporer yang memberi kita perspektif yang menyegarkan akan khazanah tari tradisi kontemporer kita. Saya harap Gintar bisa berkembang lebih luas lagi. Terutama pada keberaniannya mengeksplorasi kosagerak tari modern, tanpa kehilangan pijakannya pada khazanah tradisional yang selama ini ia kuasai.
Yang juga tak boleh diabaikan adalah terpeliharanya iklim penciptaan yang subur dan terjaga dari waktu ke waktu. Itu artinya program semacam ini mesti lebih banyak lagi diselenggarakan, terutama untuk para koreografer muda yang belum mendapatkan tempat yang cukup layak untuk menunjukkan kebolehan mereka. Lembaga seperti DKJ dan IKJ mesti mengambil peran menyiapkan lahan yang subur bagi pertumbuhan kreativitas seniman muda kita.
Dengan begini sebenarnya cadangan kreativitas tari kontemporer kita menjadi tidak terbatas. Gintar Pramana Ginting adalah salah satu contoh dari koreografer Indonesia generasi terkini yang mencoba mendalami tradisi untuk menghasilkan karya tari kontemporer yang memberi kita perspektif yang menyegarkan akan khazanah tari tradisi kontemporer kita. Saya harap Gintar bisa berkembang lebih luas lagi. Terutama pada keberaniannya mengeksplorasi kosagerak tari modern, tanpa kehilangan pijakannya pada khazanah tradisional yang selama ini ia kuasai.
Yang juga tak boleh diabaikan adalah terpeliharanya iklim penciptaan yang subur dan terjaga dari waktu ke waktu. Itu artinya program semacam ini mesti lebih banyak lagi diselenggarakan, terutama untuk para koreografer muda yang belum mendapatkan tempat yang cukup layak untuk menunjukkan kebolehan mereka. Lembaga seperti DKJ dan IKJ mesti mengambil peran menyiapkan lahan yang subur bagi pertumbuhan kreativitas seniman muda kita.
Komentar
Posting Komentar