Langsung ke konten utama

Dokan Arts Festival - Liputan Harian Analisa

Penampilan Peserta DAF yang Aduhai

sumber:

Oleh: Idris Pasaribu. Setelah acara basa-basi sambutan si Anu dan si Ani, penampilan peserta dalam kebolehan bermusik pun hadir. Tentu saja apa yang dikatakan Bupati Kabupaten Karo, Terkenlin Brahmana, kalau tahun depan DAF harus ada. Semoga bupati Karo bisa memasukan dan menganggarkan dana DAF ini pada APBD Karo.

Sebuah pentas persis pada ture rumah adat Karo si waluh jabu dihiasi lampu sorot. Semangat para kaum muda dalam berekspresi cukup tinggi. Kemampuan mereka juga tak perlu diragukan lagi. Sayangnya, tempat mereka berekspresi, selama ini tidak penah diperhitungkan oleh pemerintah. Tidak seperti di proivinsi lain di luar Sumatera Utara yang memiliki keperdulian tinggi terhadap senimannya.

Mereka sadar, kalau seniman mampu mendatangkan PAD dalam kurun waktu tertentu. Kita lihat Sumatera Barat, yang sanggup mengirimkan mahasiswa dan seniman muda mereka ke berbagai provinsi.

Rakut Sitelu, demikian sebuah judul yang ditampilkan oleh Brevin Tarigan dan teman-temannya dalam pertunjukan pertama, setelah menampilkan Hendra Ginting dari Pemarang Siantar dengan akulelenya.

Tiupan surdam Brevin mengawali pementasan mereka. Ada sebuah tanjidor, keteng-keteng, kulcapi, dan sebuah cello. Didong-doah mereka persembahkan, kemudian disusul dengan Sing-sing So dari Toba. Satu reportoar yang menarik dengan komposisi musik diatonik dan pentatonik. Gesek, tiup dan tabuh yang memadu dengan sebuah komposisi musik yang unik.

Begitu surdam ditiup, suasana gaduh di pentas terbuka dan tempat terbuka yang padat dan sempit itu, bisa hening seketika. Masyarakat bisa terkesima mendengar suara surdam yang sudah lama tak mereka dengar. Justru berbeda dengan mereka yang duduk di tempat terhormat, masih bisa berbisik-bisik dan berbicara dengan suara kecil. Tak tau entah apa yang mereka perbincangkan saat konser sudah berlangsung. Padahal suara surdam sudah mampu memaksa suasana hiruk menjadi melenget (sepi/sunyi).

Dari kondisi itu, penulis merasa sedih. Bagaimana mereka bisa memberdayakan seniman dan menghargai sebuah karya seni, saat musik sedang mengalun sendu dan memaksa hiruk jadi melenget, tapi masih juga ada yang ngobrol. Ini satu pertanda, kalau masih ada yang tidak menghargai sebuah karya seni.

Penampilan Sanggar seni mBuah Page, sangat mengagumkan. Kelompok tari dari sebuah desa/kampung yang paling ujung tampil sebuah sanggar seni tari yang demikian baik. Mungkin saja jam terbang mereka masih sangat kurang dan pentas yang sempit membuat tarian mereka tak terasa bebas.

Paling menarik penampilan mBuah Page, saat mereka menari di malam kedua. Tarian Lima Serangkai yang sudah berkali-kali penulis saksikan, begitu indah. Tarian yang terdiri dari lima reportoar komposisi. Andaikan mereka sering tampil dan  diiringi oleh musik tradisi yang live, suasananya pasti lebih memukau lagi. Bukan iringan dari CD yang keyboard-nya sangat berperan besar.

Kehebatan dari kelompok yang menamakan dirinya Otalah and Friends, Amsal Helwa, Ante Gregori Gintar Ginting dari Jakarta, memliki greget tersendiri pula.

Gayo

Pada malam kedua sebuah kelompok dari Gayo Aceh Tengah mampu memukau audiens. Kelompok ini menamakan dirinya Kalila Project. Tentunya mereka didahului oleh penampilan Simalem Art.
Ada tiga komposisi yang mereka tampilkan. Pertama Pepekitle. Bahasa Gayo dan komposisi musik bernuanza Jazz terasa demikian kental. Lagu kedua yang mereka tampilkan adalah Ngono-ngene dari Jawa. Diakhiri dengan Spirit of Zapin. Namanya juga spirit dari zapin, tentu semangat yang dimilikinya tak sama dengan Zapin yang selalu didengar secara umum.

Pada zapin yang mereka komposisikan, tak kelihatan ada instrumen marawis mereka mainkan. Namun nuansa zapin dapat dinikmati dari rebana. Pernahkah kita melihat zapin diiringi oleh biola? Kalau dengan akordion, sudah jamak, namun dengan biola? Pepekitle dan Spirit of  Zapin, menurut penulis adalah komposisi musik yang patut diacungi jempol.
Wisnu Bangun yang mengkhususkan dirinya dalam Hip-hop sangat disayangkan, tiba-tiba terjadi kerusakan teknis, membuat pertunjukannya sempat terhenti. Anak pasar 8 Delitua ini. tampil dengan sebuah lagu lama.  Sangat disayangkan, penyanyi mungkin tak sempat latihan dengan intensif dengan Wisnu Bangun.

Mouth Percusion tampil dengan bersahaja. Namun ada innovasi yang diperoleh oleh masyarakat penonton, terutama kaum muda. Apa yang mereka lakukan, membuat kaum muda terutama di Desa Dokan, mungkin tak akan ragu lagi untuk tampil tahun depan.

Malam kedua diakhiri dengan penampilan Maharani Beru Tarigan feat dengan Batu Tarigan. Malam pun semakin larut dan udara semakin dingin. Acara usai dengan kelegaan bagi penonton. Salah seorang dari penonton yang ketika masih mudanya selalu menonton berbagai konser musik di Brastagi pun berceloteh yang positif. Nande Rehulina, demikian dia dipanggil oleh temannya.
“Marenda nari min, lit si bagenda rupa na, ma meriah ari,” katanya yang menyesalkan, kenapa hal seperti ini tidak ada jauh hari sebelumnya. Teman-temannya pun sependapat. Dalam percakapan mereka, nyatanya mereka sependapat, agar pemerintah harus membantu kegiatan seperti ini setiap tahun.

Malam ketiga adalah malam penutupan. Selain pidato dan berbagai cakap-cakap yang penuh harapan, malam ketiga itu tampil empat buah pertunjukan.

Jimmy Jangkrik Etnik Project dari Pekan Baru Riau mengawalinya. Disusul oleh Murni Surbakti yang sengaja datang dari Bali dengan biaya sendiri. Nyatanya, tak dapat dipungkiri, Tio Fanta Pinem perempuan dari Sidikalang Dairi ini, sangat ditungu-tunggu oleh masyarakat. Sudah lama memang Tio Fanta Pinem tak lagi terdengar suaranya baik  di TV, mapun dalam CD. Dua puluh tahunan lau, Tio Fanta Pinem selalu hadir dalam berbagai acara, baik di Medan maupun di Tanah Karo dan Sidikalang.

Kerinduaan masyarakat Karo terhadap penyanyi yang satu ini, akhirnya terobati, saat Tio Fanta Pinem mengalunkan suara emasnya. Penampilan terakhir dari Bale Marojahan Medan.
Budaya memang memiliki perekat yang sangat kuat dalam membangun pola pikir masyarakat. 
Kelembutan kesenian, juga mampu mengarahkan masyarakat penikmatnya dari hal-hal negatif ke arah positif. Itu sebabnya, revolusi kebudayaan yang didengungkan oleh Mao Xedong 25 tahun lalu, membuat Tiongkok memiliki  keberhasilan seperti yang sekarang ini. India tetap mempertahankan budayanya. Korea dan Jepang juga mempertahankan budayanya, memiliki kemajuan yang luar biasa.
Sifat kerja sama yang kuat akan muncul dari tinggginya nilai budaya. Semua peraturan yang ada, tidak sekuat peraturan dari budaya. Karena manusia yang diatur oleh budaya, akan memiliki jati diri yang sangat kuat. Karenanya pula, aturan budaya pasti lebih kuat dari aturan hukum lainnya, kata Alimin Ginting salah seorang tokoh masyarakat Karo yang hadir dalam DAF.
Minggu, 24 Mei 2015 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tari Kreasi Karo "Mejuah-Juah" (Cililitan Cup IV) 2014

Tari Kreasi "Mejuah-Juah" merupakan salah satu kreasi tari baru garapan koreografer Gintar Pramana Ginting yang mencoba menginterpretasikan makna dari lirik lagu ciptaan Alm. Djaga Depari yang dinyanyikan oleh Juliana br. Tarigan bersama Alasen Barus. Karya tari kreasi Karo ini diciptakan sebagai materi untuk mengikuti lomba seni tari dalam acara Cililitan Cup IV yang di prakarsai oleh Permata GBKP Runggun Cililitan Jakarta. Sinopsis: Kebersamaan dalam makna "Mejuah-Juah". Menjadi berkat bagi kita. Sebagai pemersatu dalam ikatan kekeluargaan. Ersurak Mejuah-Juah!  Musik: "Mejuah-Juah" Cipt. Alm. Djaga Depari Voc. Juliana br. Tarigan & Alasen Barus Penata Tari: Gintar Pramana Ginting Penari: Lia Natalia, Egi Prisilia, Ribka, Etha Torong, Lia Natalia br. Tarigan, Kenny br. Tarigan, Edho Surbakti, Andre Sebayang, Gerry, Ardianta, Yudi Tarigan Clip: Adegan Penutup Clip: bagian landek patam-patam

Praise of Melody, 20 Tahun GKI Harapan Indah

GBKP Cililitan for Porseni Remaja GBKP Klasis Jakarta - Bandung

Porseni Tanggung - Remaja GBKP KLasis Jakarta - Bandung GOR RAGUNAN 21 JUNI 2014 "KELOMPOK TARI REMAJA" GBKP RUNGGUNG CILILITAN Gintar Pramana Ginting yang sekaligus pemilik dari Gintarting Arts Performance, kembali dipercayakan untuk melatih group tim tari dari Gereja GBKP Rungun Cililitan Jakarta Timur. Pada kesempatan kali ini sangat berbeda dari kerjasama yang telah dibangun sebelumnya. Dimana biasanya Gintar Pramana Ginting melatih pemuda dan pemudi, kini mendapatkan tantangan untuk melatih tari Karo untuk anak remaja.  " Cukup menantang dan butuh ekstra sabar untuk melatih mereka." Itulah yang diungkapkan oleh Gintar saat ditanya bagaimana pengalamannya melatih tari karo untuk anak-anak dari Runggun GBKP Cililitan. Pagelaran dan lomba tari kreasi karo inj diikuti oleh 17 kelompok tari remaja dari berbagai Runggun GBKP yang tersebar di Jakarta dan Bandung.  Semoga dengan di adakannya kegiatan ini, semakin